“Kalau ditarik ke belakang, di Indonesia rokok dan musik sudah lama banget kawin,” tutur kawan saya ini.
“Asosiasi bahwa ngedengerin dan membuat musik itu dilakukan sambil merokok sudah dibangun sejak zaman pentas-pentas kecil di kampung. Mereka nge-bundling pentas musik dengan sebungkus rokok.”
(Adhidhanendra, 2018)
Setidaknya dalam dua tahun terakhir, ranah pentas musik di Indonesia kerap didatangi nama-nama luar negeri: dari legenda nu metal Limp Bizkit hingga “penduduk setia” daftar rekomendasi YouTube Boy Pablo. Musisi kenamaan lokal sendiri juga semakin rutin mendapatkan panggung, sebut saja Grrrl Gang dan The Panturas yang mendapat kehormatan tampil di salah satu festival musik terbesar di Indonesia, We.The.Fest.
Ramainya pertunjukan musik tidak bisa dilepaskan dari peran promotor sebagai penyelenggara. Hal menarik yang bisa kita saksikan saat ini adalah semakin banyaknya promotor baru yang bermunculan, seperti Lokatara yang pada bulan Mei 2019 ini akan menampilkan Jakob Ogawa, Pesona Experience yang tahun lalu sukses membawa Cuco dan Mac Ayres, dan MME Indonesia yang, sayang sekali, gagal menampilkan tiga rapper terkemuka sekaligus: Future, 2Chainz, dan A$AP Rocky. Ditambah lagi, salah satu promotor yang baru lahir Maret lalu, Disto Creative, akan membawa epitome pentas seni Tanah Air: Maliq & D’Essentials, Kahitna, Glenn Fredly, dan sederet nama lainnya. Acara musik perlahan tampaknya menjadi primadona industri kreatif.
Nyatanya, untuk mendatangkan penonton, harga tiket telah ditekan hingga ke titik yang sulit menghasilkan balik modal. Misal, ketika tiket Hammersonic di Jakarta dihargai Rp400 ribu, promotor Revision Live Entertainment mendapat komplain tentang penetapan harga. Padahal, harga tiket hanya mampu menutupi 30% pengeluaran. Bayangkan saja betapa sulitnya pendanaan festival musik sebesar Music Gallery yang berani menjual tiket seharga Rp90 ribu. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah mencari sumber pendanaan lain, salah satunya adalah sponsor.
Sokongan Rokok dan Bank
Perlu disadari bahwa kesuksesan acara musik tidak jauh dari andil perusahaan-perusahaan yang mau memberikan modal pada penyelenggara, terutama perusahaan rokok dan bank. Djarum sudah menjadi sponsor acara musik seperti Djarum Super Rock Festival sejak 1984. Sementara itu, Bank Negara Indonesia (BNI) pertama kali menyokong Java Jazz Festival pada tahun 2005. Tahun lalu, BNI juga menjadi sponsor utama festival jazz tertua di Indonesia, Jazz Goes to Campus.
Dukungan ini nyatanya berbuah manis: Java Jazz Festival menjadi festival jazz terbesar di dunia dengan lebih dari 100 ribu penonton setiap tahunnya (Wibisono, 2018). Di lain pihak, kegiatan industri musik arus pinggir, yang populer disebut sebagai musik independen atau indie, mendapat bantuan yang signifikan lantaran perusahaan rokok tidak hanya mendanai penyelenggaraan konser, tetapi juga produksi album, pemberitaan musik, dan sebagainya (Bagaskara, 2017).
Larangan Promosi Rokok
Baik bagi perusahaan rokok maupun bank, kegiatan sponsorship acara musik memberikan dampak positif bagi brand awareness masing-masing (Bagaskara, 2017). Namun, berbeda dengan bank, konsumsi rokok cenderung membawa dampak negatif dengan membahayakan kesehatan penggunanya. Setiap tahun, lebih dari 225.700 kematian di Indonesia terjadi akibat penyakit yang disebabkan pemakaian tembakau. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk membatasi perusahaan rokok melakukan kegiatan dalam melakukan kegiatan promosi lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Peraturan ini mengatur produksi, distribusi, serta pemasaran produk rokok. Secara spesifik, pada pasal 47, PP tersebut melarang acara musik yang disponsori oleh perusahaan rokok untuk mempromosikan penggunaan produk sigaret. Selain itu, promosi rokok juga dilarang ditujukan kepada anak-anak dan remaja.
Siasat Rokok Menarik Para Remaja
Kancah musik Indonesia, terutama musik independen, dipandang perusahaan rokok sebagai ranah efektif dalam melakukan aktivitas promosi lantaran segmen pasar yang berkualitas: penggemar musik independen memiliki demografi mayoritas anak muda (Bagaskara, 2016). Global Youth Tobacco Survey (2014) melaporkan bahwa hampir 20% pelajar SMP (umur 13 sampai 15 tahun) merokok. Hal ini menggambarkan bahwa remaja Indonesia juga masuk ke dalam segmentasi pasar yang diincar industri rokok. Namun, larangan yang berlaku justru memaksa perusahaan rokok untuk mempromosikan rokok dengan cara yang lebih halus. Untuk memperkuat asosiasi mereknya dengan musik, perusahaan rokok menggaet secara langsung musisi yang memiliki kedudukan penting di dalam kancah musik independen sebagai key opinion leader, salah satunya Arian13 (Bagaskara, 2017).
Dalam industri musik independen, penggemar memiliki kecenderungan untuk bermain musik (Bagaskara, 2017). Salah satu faktor yang membuat industri musik independen terbuka terhadap dukungan dari perusahaan rokok adalah minimnya—bahkan nihil—intervensi pada authenticity karya. Dalam konteks musik populer, authenticity adalah konsep yang mewakili setidaknya tiga hal: artis membicarakan kenyataan tentang situasinya sendiri, artis membicarakan kenyataan kondisi sekitarnya, dan artis membicarakan kenyataan tentang kultur mereka sendiri (Gilbert & Pearson, 1999). Dengan demikian, perusahaan rokok dapat mendeklarasikan relevansinya dengan kehidupan penggemar musik independen.
Pada media yang berbeda dengan kasus yang sama, promosi rokok dilakukan dengan mengasosiasikan produk rokok dengan gaya hidup anak muda tertentu. Strategi ini dilakukan PT HM Sampoerna/Philip Morris Internasional pada produk A Mild. Sebuah analisa semiotika (Tenggono & Sulistyarini, 2016) pada iklan televisi Sampoerna A Mild “Go Ahead” mengilustrasikan permasalahan hidup dengan tokoh yang hampir semuanya merupakan anak muda dalam menentukan jalan hidupnya. Analisis tersebut menyimpulkan bahwa iklan ini memiliki pesan moral seperti bekerja keras, rendah hati, menolong orang lain, dan peduli sesama. Padahal pesan tersebut tidak memiliki hubungan khusus dengan produk rokok, bahkan kontraproduktif mengingat bahaya akan konsumsi rokok.
Perspektif postmodernisme mendefinisikan iklan sebagai representasi berbagai karakter masyarakat simulasi (Tenggono & Sulistyarini, 2016). Simulasi adalah penggambaran sesuatu yang tidak ada melalui peniruan sesuatu yang nyata (Baudrillard, 1981). Implikasi dari pandangan Baudrillard ini adalah terbentuknya simbolisme dari penggambaran iklan rokok yang sesungguhnya tidak realistis. Hiperrealitas terwujud dengan simulasi yang terpotret oleh propaganda promosi, sehingga asosiasi antara rokok dan pemusik yang mulanya nihil menjadi terukir. Pada perspektif ini, promosi bukan dibuat untuk menyampaikan pesan produk, melainkan mengelabui masyarakat sehingga menginginkan suatu produk. Perusahaan rokok telah membangun citra bahwa produknya merupakan representasi dari gaya hidup anak muda. Secara tidak sadar, asosiasi ini mengaburkan informasi dari produk rokok itu sendiri dan membangun perspektif baru yang ingin ditanamkan perusahaan pada masyarakat: bermusik dilakukan sambil merokok.
Dengan bertahannya siasat ini, rokok akan tetap digdaya di kalangan remaja, lingkungan yang sudah diharamkan untuk mempropagandakan produk ini. Dengan suburnya konser musik yang diprakarsai oleh industri sigaret hingga kini, pemerintah seakan abai dengan peraturan yang mereka buat sendiri. Lantas, sampai kapan anak muda jadi korban kerakusan industri rokok dan kealpaan pemerintah?
Referensi
Adhidhanendra, Argia. (2018). Sehatkah Kehadiran Industri Rokok dalam Musik? Retrieved May 5, 2019, fromjurnalruang.com
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. (2015). Global Youth Tobacco Survey (GYTS): Indonesia Report, 2014.
Tenggono, Calvien Muttaqin & Sulistyarini, Dhanik. (2016). Analisis Semiotika Pesan Moral dalam Iklan Rokok Sampoerna A Mild “Go Ahead”di Media Televisi.
Bagaskara, Adam. (2017). Menegosiasi Otentisitas: Kancah Musik Independen Indonesia dalam Konteks Komodifikasi oleh Perusahaan Rokok. MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017.
Gilbert, Jeremy & Pearson, Ewan. (1999). Discographies: Dance, Music, Culture, and the Politics of Sound.
Wibisono, Nuran. (2018). Beruntunglah Mereka yang Menjadi Sponsor Acara Musik. Retrieved May 5, 2019, from tirto.id
Rowley, Jennifer, & Williams, Catrin. (2008). The impact of brand sponsorship of music festivals.
Kontributor: Yosia Kenneth Manurung
Editor: Emily Sakina Azra, Timuthy Ey Maharani
Foto: Harsodo Widhastomo
Mild Report adalah tulisan informatif Divisi Penerbitan B.O. Economica yang menyorot fenomena sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi dari beberapa sudut pandang dengan landasan keilmuan.
Discussion about this post