Bunyi langkah demi langkah kudengar
Girang jiwa tersenyum bibir tipis
Bunyi kata demi kata kunanti
lirihnya mengusap rindu
Belaian demi belaian kurasakan
Memaknai kehangatan kasih storge
Waktu berlari cemburu
Luruh… luruh…
Semuanya…
Milea…
Namamu selalu kusebut pada alam
meminta angin menjadi perantara
Berharap kau mendapat pesan itu
tapi selalu kandas di ujung
Materi dan harta kupegang
hanya rindu dan bayanganmu saja yang bisa kubeli
Milea…
Monokrom foto hitam putih dirimu memang selalu membawa sejuta kenangan yang membuat hati campur aduk.
Suka dan duka bercampur mendialektika hati.
Konflik batin berkompromi antara rela dan tidak rela melepaskan dirimu.
Satu dasawarsa genap sudah engkau berada dalam dimensi lain.
Rindu itu selalu bertanya kepada diriku apa kabarmu saat ini dan sedang apa dirimu.
Diriku selalu bingung ketika ditanya rindu dan hanya diam jawabanku.
Rindu itu egois dan selalu tidak pernah puas, Milea…
Milea…
Aku teringat sebuah pertanyaan yang engkau lontarkan kepada diriku
“Bagaimana jika suatu hari aku tidak bisa disampingmu lagi?” ucapmu
“Yah, ya sudah, berarti aku harus hidup sendiri…” ucapku tak paham.
Engkau terdiam sejenak… dan kemudian mengalihkan topik pembicaraan.
Bodohnya aku melihat polosnya diriku yang tidak menyadari pertanyaanmu.
Dirimu sadar diriku tidak memahami dan engkau tersenyum serta mengalihkan pertanyaan itu.
Dirimu melakukan sisa tugas hidup dengan baik,
hingga satu waktu, sang Pencipta mengatakan kepada malaikatnya untuk menjemputmu.
Sudah selesai… sudah waktunya…
Diriku ditampar oleh keadaan, diriku melaungkan masygul kuat sangat.
Milea…
Seandainya saja aku bisa berkompromi dengan sang waktu…
“Seandainya… tolonglah…” ucapku.
Diriku terus mengigau yang membuat dunia terbisu melihatku.
Aku termangu melihat ego diriku yang haus akan kasih darimu.
Egoku bersembunyi setelah terpuaskan dan empatiku menunjukkan diri
Candala… Candala…
Empati itu menghakimi diriku dengan julukan
“sampah”
Milea…
Apakah kau marah? Apakah kau kecewa?
Katakan sesuatu padaku…
aku selalu berdoa kepada sang Pencipta untuk mempertemukan kita dalam mimpi.
Izinkan aku mempertemukan maaf dan penyesalan kepada dirimu
nihil yang kudapat…
apakah kau marah dan kecewa dengan diriku?
Milea…
Ada seseorang yang selalu bertanya tentang dirimu
Dia adalah ‘rindu’.
Dia begitu penasaran… sangat penasaran…
Aku hanya bisa membisu dan tidak berkata apa-apa kepada rindu.
Akan tetapi, karena dia dirimu selalu teringat.
Dirimu selalu menjadi inspirasi untuk menjadi orang yang lebih baik.
Aku berharap suatu saat kita bisa berjumpa kembali.
Aku bisa menjawab rindu itu.
Semoga…
“Tenang saja, perpisahan tak menyedihkan, yang menyedihkan adalah bila habis itu saling lupa” – (Dilan, Pidi Baiq)
Penulis: Aji Putera Tanumihardja
Ilustrator: Liana Febrianti Ismail
Editor: Vibi Larassati
Discussion about this post