Memiliki judul internasional “The Seen and Unseen” membuat film Sekala Niskala terkesan misterius dan kompleks. Meski begitu, di balik kesan tersebut terselip pesan sederhana yang terlihat jika lebih kita amati, yakni pentingnya keseimbangan. Melalui kisah Tantri dan Tantra, penonton diajak menelusuri jejak kebudayaan berbalut simbolisme dan mistisisme kental masyarakat yang hidup di Bali.
Kembar Buncing
Tantri dan Tantra merupakan sepasang kembar buncing yang hidup di sebuah rumah sederhana di tengah hamparan sawah. Masyarakat Bali memiliki kepercayaan bahwa kembar buncing adalah lambang dari sebuah keseimbangan, salah satu wujud pengibaratannya adalah putih dan kuning telur, cocok dengan kisah Tantri yang hanya menyukai putih telur saja sehingga Tantra-lah yang akan menghabiskan kuning telurnya. Konflik cerita dimulai ketika Tantra divonis menderita sebuah penyakit tumor ganas yang menghilangkan kinerja inderanya satu per satu, lantas membunuhnya secara perlahan. Keseimbangan hidup Tantri pun perlahan mulai terguncang seiring dengan melemahnya Tantra. Tantri mulai dihantui oleh bayangan buruk tentang Tantra di malam hari saat bulan purnama sedang bersinar. Ia bahkan menemukan telur rebus yang tidak memiliki kuning telur di dalamnya. Tantri yang menyadari bahwa waktu bersama adik kembarnya semakin menipis, kemudian melakukan berbagai cara agar terus dapat berada di sisi sang adik hingga akhir khayatnya.
Mitos yang Masih Kuat
Film yang disutradarai oleh Kamila Andini ini memiliki kesan mistis yang dibalut dengan berbagai metafora dalam beberapa adegannya sehingga relatif sulit dipahami. Namun berkat alur cerita yang mengalir secara emosional serta disajikannya dialog sederhana namun sarat akan arti kehidupan, Sekala Niskala menjadi film yang patut diberi acungan jempol. Dalam film ini, Kamila terlihat ingin menggambarkan aspek-aspek yang membentuk budaya Indonesia. Bali dipilih sebagai latar tempat karena kepercayaan tradisional masih begitu kuat dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. “Sekala dan Niskala”, atau “Yang Terlihat dan Yang Tidak terlihat”, adalah prinsip yang dijunjung masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-harinya.
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam daerah yang masing-masing memiliki berbagai macam prinsip, mitos, dan kepercayaan. Salah satu mitos yang berhasil menginspirasi Kamilia untuk membuat film ini ialah mitos “kembar buncing”, yaitu kembar yang berbeda jenis kelamin.
Meski dianggap sebagai lambang keseimbangan, kembar buncing memiliki sejarah dan mitosnya tersendiri. Masyarakat Bali memiliki persepsi bahwa kembar buncing yang dilahirkan dari keturunan ningrat akan membawa kemakmuran. Namun jika hal yang sama terjadi di keturunan rakyat biasa, justru akan berbalik menimbulkan petaka.
Konon salah satu raja Bali Kuno, Sri Jayakasunu, memiliki anak kembar buncing bernama Sri Masula dan Sri Masuli. Menurut kepercayaan dahulu, kedua kembar tersebut dipercaya pernah berhubungan intim sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, ketika dewasa mereka akan dikawinkan dan menjadi pasangan raja dan ratu yang mengantarkan Bali pada masa kejayaannya. Sementara itu, nasib kembar buncing pada keluarga yang bukan konglomerat dianggap sebagai petaka. Orang tua dan kedua anak kembar buncingnya harus diasingkan di dekat kuburan selama 40 hari.
Lalu, bagaimana dengan nasib Tantra dan Tantri? Meski tidak dikatakan secara eksplisit, penyakit Tantra dapat diibaratkan sebagai ‘petaka’ yang mendukung mitos masyarakat setempat bahwa kembar buncing yang lahir tanpa darah konglomerat akan membawa kesialan. Tempat tinggal mereka yang terkesan terisolasi di hamparan sawah pun seakan membuat penegasan bahwa mitos kembar buncing masih sangat kuat dan dipercayai masyarakat Bali hingga saat ini.
Menarik untuk Ditelisik
Meski Sekala Niskala merupakan film perdananya, Thaly Titi Kasih telah berhasil membawakan karakter Tantri yang ekspresif meski tidak banyak mengeluarkan kata. Dengan gerakan luwesnya, Thaly berhasil menunjukkan passion menarinya sejak awal film, ketika ia dan Gus Sena, pemeran Tantra, menari meniru ayam-ayam di acara Tajen. Kamila sendiri sempat mengaku bahwa aktor yang dapat memerankan karakter Tantri yang ia cari memang cukup sulit ditemukan. Terlebih dengan jangka waktu pembuatan film yang tidak singkat, Kamila menginginkan aktris yang dapat berakting di saat-saat jenuh sekalipun. Untungnya, Kamila akhirnya menemukan Thaly yang dapat memenuhi semua pertimbangan tersebut.
Secara keseluruhan, Sekala Niskala adalah film yang dikemas secara apik dengan balutan atmosfer kelabu di setiap adegannya. Meski begitu, film ini mungkin tidak dapat dinikmati oleh semua orang karena minimnya penjelasan dari setiap adegan, sehingga menimbulkan banyak tanda tanya dalam benak penonton. Jadi untuk penonton yang mencari hiburan ringan dan mudah dimengerti, Sekala Niskala mungkin bukan pilihan film yang tepat untuk ditonton.
Pada akhirnya, setiap orang memiliki persepsi sendiri mengenai film Sekala Niskala. Namun yang membuat Sekala Niskala begitu menarik adalah konsistensi penuturan filmnya, dari segi visual, dialog, hingga latar belakang suasana, semua menggambarkan kesedihan, kesepian, dan kesunyian. Film yang kaya akan imajinasi dan gerak ini juga mampu menggambarkan latar belakang nilai budaya masyarakat Bali dengan baik, mulai dari segi tradisi, tarian, dan adegan-adegan simbolik lainnya sehingga mampu menuai banyak pujian dari berbagai penjuru negara. Dengan keberhasilan Sekala Niskala, antisipasi pun mulai berdatangan menanti karya-karya luar biasa selanjutnya dari Kamila Andini.
Penulis: Tazkia Astrina
Editor: Pieter Hans, Nur Fajriah
Discussion about this post