Senin, 17 September 2018, seminar Kopi Darat keempat telah diselenggarakan oleh BEM UI pukul 15.00. Bertempat di Auditorium Fakultas Ilmu Administrasi UI, seminar Kopi Darat 4.0 mengundang Direktur Program Institut for Development of Economics and Finance, Berly Martawardaya, dan Kepala Riset Moneter Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI, Febrio N. Kacaribu. Dengan Moderator Izzudin Al Farras Adha selaku alumni FEB 2013, seminar berlangsung selama sekitar satu setengah jam.
Dengan mengangkat topik utama “Depresiasi Rupiah”, acara ini menjadi media penyampaian pendapat para ahli mengenai volatilitas rupiah yang menjadi isu hangat sejak awal tahun 2018 ini.
Menurut Berly, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki tingkat depresiasi nilai tukar paling tinggi, yaitu sekitar 8,8%. “Melemahnya rupiah bukanlah hal baru. Penyebab internal berasal dari impor migas yang terus meningkat, sementara penyebab eksternal berasal dari investor asing yang menarik kembali investasinya (capital outflow),” jelas Berly.
Berly juga menambahkan bahwa penurunan investasi menjelang pemilu adalah hal yang lumrah. Sebab, investor tentu mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan oleh pemimpin baru. Ditambah lagi, krisis-krisis yang terjadi di wilayah ASEAN yang tidak terprediksi menyebabkan investor cenderung ragu untuk menanamkan modal. Menurut Berly, cara paling cepat untuk menguatkan rupiah adalah dengan menurunkan impor. Namun, mengingat komposisi barang impor di Indonesia yang 90% di antaranya merupakan bahan baku, produksi barang-barang menjadi terhambat.
Febrio juga berpendapat bahwa meski sektor manufaktur Indonesia menurun sebanyak 7%, pertumbuhan ekonomi negara secara signifikan membaik dan inflasi menjadi jauh lebih rendah. Indonesia juga disebut sebagai negara dengan zero probability of crisis.
Meski begitu, masih ada isu kenaikan suku bunga di Amerika. Ketika suku bunga Amerika naik, maka rupiah akan terpengaruh sehingga mengalami pelemahan. Di ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan ekspor terlemah dan ekonominya cenderung tertutup dibandingkan negara ASEAN lainnya. Jika dicontohkan, ekspor Indonesia hanya 40%, sedangkan jumlah ekspor negara-negara dengan ekonomi yang lebih terbuka seperti Malaysia bisa mencapai 110%, Filipina 90%, dan Thailand 120%. Maka dari itu, kenaikan pada suku bunga Amerika tidak akan berdampak besar.
Menurut Berly, pemerintah saat ini sedang menjalankan motto ‘bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian’ , terlihat dari tindakan pemerintah yang memfokuskan dana negara untuk pembaharuan infrastruktur. “Untuk aksi sendiri, lebih baik menunggu pemilu tahun depan. Sebab, kondisi ekonomi saat ini tidak dapat banyak ditingkatkan dengan demo,” ujar Berly mengakhiri pendapatnya.
Kontributor: Tazkia Astrina K., Harnum Yulia Sari, Vibi Larassati
Editor: Emily Sakina Azra, Nur Fajriah
Discussion about this post