Dalam transfusi darah, kecocokan golongan darah antara pendonor dan penerima donor merupakan faktor utama yang menentukan terjadinya transfusi tersebut. Namun, sangat sedikit orang tahu bahwa kecocokan golongan darah bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam proses donor darah. Positif atau negatifnya rhesus juga menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhitungkan dalam transfusi darah. Mengingat populasinya yang sangatlah sedikit, lantas bagaimana eksistensi orang-orang Indonesia dengan rhesus negatif?
Jika seseorang ditanya tentang golongan darahnya, dengan cepat ia akan menjawab pertanyaan tersebut. Namun lain halnya dengan rhesus. Rhesus dalam darah seseorang acap kali terlewatkan begitu saja. Padahal, pengetahuan akan rhesus sangatlah penting sebagai salah satu identitas kondisi kesehatan seseorang, khususnya transfusi darah. Kecocokan rhesus pendonor dan penerima donor juga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam proses donor darah.
Dr. Asnath Vera Safitri Matondang, dokter spesialis penyakit dalam, menjelaskan bahwa terdapat dua jenis rhesus, yaitu rhesus negatif dan rhesus positif. Apabila seseorang memiliki faktor Rh pada sel permukaan darah merahnya, maka rhesus orang tersebut positif. Sementara orang tanpa faktor Rh pada sel permukaan darah merahnya memiliki rhesus negatif. Faktor Rh adalah faktor antigen yang membedakan orang dengan rhesus positif dan negatif. Diduga hanya 15% orang yang memiliki faktor rhesus (Rh-) di seluruh dunia dan biasanya ketiadaan faktor Rh ini ditemukan pada orang-orang Kaukasia.
Rhesus Negatif di Indonesia
Meskipun populasi rhesus negatif secara keseluruhan didominasi oleh orang-orang Kaukasia, rhesus negatif juga ditemukan di orang-orang Asia, tak terkecuali Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010 populasi rhesus negatif di Indonesia tidak mencapai angka 1 % (sekitar 1,2 juta orang). Secara alami, gen pembawa rhesus negatif bersifat resesif, sedangkan rhesus positif bersifat dominan maka jumlah orang dengan rhesus negatif menjadi lebih sedikit. Lici Muniarti, Ketua Komunitas Rhesus Negatif Indonesia, menjelaskan bahwa jumlah yang sangat sedikit ini menyebabkan tingkat kesadaran masyarakat, bahkan tenaga medis, sangat minim akan eksistensi individu dengan rhesus negatif ini.
Lici menambahkan, faktor lain penyebab minimnya kesadaran masyarakat akan eksistensi orang dengan rhesus negatif, di samping jumlah populasi yang sedikit, adalah adanya anggapan bahwa rhesus hanya dimiliki orang Kaukasian. Akibatnya, tenaga medis di Indonesia sering berasumsi bahwa seorang Indonesia pastilah memiliki rhesus positif. “Padahal, secara medis, apabila seorang dengan rhesus negatif membutuhkan donor darah, ia akan sangat tidak direkomendasikan untuk menerima darah dari pendonor ber-rhesus positif,” papar Lici. Pasalnya, penerimaan darah yang tidak sesuai dapat menimbulkan berbagai reaksi kimia yang bervariasi dan berdampak pada organ tubuh, tergantung oleh individunya.
Stigma Negatif terhadap Rhesus Negatif
Minimnya kesadaran dan pengetahuan akan rhesus negatif menyebabkan terbentuknya persepsi negatif terhadap rhesus negatif. Sebagian pihak menyebut rhesus negatif sebagai kelainan darah langka, karena sulitnya menemukan pendonor dengan rhesus negatif. Padahal sebenarnya rhesus negatif bukanlah sebuah kelainan, melainkan hanyalah variasi dari golongan darah, sama seperti warna rambut atau warna bola mata yang berbeda-beda, sebab penyebab ketiadaan faktor rhesus dalam darah sebenarnya murni faktor gen dari orang tua.
Secara fisik, orang-orang dengan rhesus negatif tidak memiliki kebutuhan medis khusus. Namun, terdapat konsekuensi tersendiri apabila seorang perempuan dengan rhesus negatif hamil. Jika seorang perempuan dengan rhesus negatif hamil dan anak yang dikandungnya memiliki golongan darah rhesus positif, maka sistem imun tubuh ibu berpotensi akan menyerang sang janin karena dianggap benda asing. Risikonya, janin dapat lahir dengan kelainan yang ringan sampai berat. Bahkan, pada kasus ekstrim, perbedaan rhesus antara ibu dan janin dapat menyebabkan kematian janin, meskipun konsekuensi-konsekuensi tersebut tidak mutlak terjadi.
Terbentuknya Komunitas
Berawal dari pengalaman pribadi, pada tahun 2009 silam, almarhum Irwan Dhany membutuhkan donor darah ber-rhesus negatif untuk melakukan operasi bypass jantung. Namun saat itu persediaan darah yang tersedia tidaklah mencukupi kebutuhan beliau sehingga operasinya dibatalkan. Pengalaman itulah yang membuatnya tersadar akan pentingnya komunitas untuk orang-orang dengan rhesus negatif. Atas dasar inisiatif itulah Irwan mendirikan Komunitas Rhesus Negatif Indonesia pada tahun yang sama.
Dua tahun kemudian, komunitas ini membentuk kepengurusan inti yang resmi. Keanggotaan yang bersifat sukarela tersebut terus berkembang hingga mencapai 3000 anggota. Lewat komunitas ini, proses donor darah untuk orang-orang dengan rhesus negatif jauh lebih mudah. Komunitas ini lantas berperan sebagai mitra PMI dalam perantaraan pendonor dan penerima donor.
“Sebelum PMI berkoordinasi dengan kami, PMI berkoordinasi dengan institusi seperti kedutaan. (Koordinasi) ini dilakukan untuk memenuhi permintaan akan darah dengan rhesus negatif, dan umumnya donor dapat ditemukan di komunitas orang asing. Sekarang, setelah PMI berkoordinasi dengan kami, pedonor yang berasal dari Indonesia sudah mencapai angka 95%,” terang Lici. Sebagian besar permintaan akan darah dengan rhesus negatif berasal dari provinsi DKI Jakarta karena banyaknya populasi penduduk DKI. Mayoritas pendonor juga berasal dari DKI Jakarta. “Apabila permintaan dari daerah tidak dapat terpenuhi, permintaan tersebut akan dialihkan ke DKI atau Tangerang.”
Lici menerangkan lebih lanjut bahwa data populasi rhesus negatif di Indonesia belum akurat karena kurangnya kesadaran pemerintah. Dalam jangka panjang, Lici berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dengan mengembangkan komunitas ini dalam skala lebih besar. Harapan tersebut salah satunya diwujudkan dengan pengadaan tes rhesus secara gratis sebagai salah satu upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang rhesus negatif. “Pengembangan komunitas ini sangat terbantu oleh internet dan eksistensi media sosial seperti Whatsapp, Twitter, dan Facebook,” tutupnya.
Kontributor: Vibi Larassati, Arga Taufiq Fairuza, Rani Widyaningsih
Editor: Komang Gita P.
Ilustrator: Liana Febrianti Ismail
Discussion about this post