Pada 23 Agustus lalu, terkuaklah sindikat Saracen yang dikenal sebagai kelompok produsen serta penyebar hoax dan ujaran kebencian. Terdapat tiga orang yang ditangkap, yakni Jasriadi selaku ketua, Faizal Muhammad Tonong sebagai koordinator media dan informasi, dan Sri Rahayu Ningsih sebagai koordinator grup wilayah. Kelompok yang awalnya dibentuk di Facebook setelah masa Pemilu 2014 ini memperdagangkan ucapan provokatif dan menyebarkannya melalui media sosial dan situs saracennews.com.
Sindikat Saracen menyediakan jasa penyebaran ujaran kebencian dengan tarif bayaran hingga puluhan juta per konten dan berafiliasi dengan hingga 800 ribu akun. Awalnya grup Saracen dibentuk Jasriadi demi melawan cecaran akun dan grup Facebook lain pada masa pilpres 2014 terhadap agama Islam dan tokoh politik pilihannya. Misalnya, jika ada akun yang didapati menjelek-jelekkan Prabowo, ia akan membajak akun tersebut. Namun sindikat ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang secara terstruktur berperan sebagai penggiring opini (opinion maker) hingga ketika tiga pimpinannya ditangkap karena melanggar UU ITE.
Organisasi penyebar hoax seperti Saracen ini mungkin bukanlah kasus yang pertama, dan sepertinya tidak akan menjadi yang terakhir. Dengan Pilpres 2019 yang semakin mendekat, “kebutuhan” akan berita bohong agar ambisi politik dapat tercapai akan semakin meningkat.
Di tengah-tengah hiruk pikuk berita bohong ini, mengapa hoax kini menjadi sesuatu yang lumrah?
Walaupun tindakan membohong mungkin sudah bisa dilakukan oleh bocah sedini usia 2-3 tahun[1] dan mungkin sudah terjadi sejak awal peradaban manusia, diperlukan sebuah keadaan dimana kebohongan ini bisa menjadi sesuatu yang menyebar luas. Kemajuan teknologi yang menyebabkan cepatnya arus informasi beredar membuka kemungkinan yang sangat besar bagi informasi untuk menyebar, baik yang hoax maupun yang tidak. Untuk wilayah Indonesia sendiri, sayangnya, dengan minat baca masyarakat Indonesia yang sayangnya masih rendah (0,001[2] (yang berarti hanya 1 dari 1000 masyarakat Indonesia yang memiliki minat membaca)) serta keengganan untuk “cek&ricek” informasi yang mereka dapat membuat hoax lebih mudah untuk tertanam dalam sebagian masyarakat Indonesia. Tensi politik yang dimulai sejak Pilkada DKI 2012 (mungkin saja lebih jauh) hingga saat ini menjadi “keuntungan” tersendiri bagi hoax untuk menyebar.
Kemudian, dengan dampak yang dihasilkan hoax yang tentu tidak main-main, mulai dari memengaruhi hasil Pilkada DKI Jakarta 2017[3], pencemaran nama baik dari Presiden Joko Widodo[4] hingga penyerangan kantor LBH Jakarta pada 17 September 2017[5], apakah bisa menjadi justifikasi bagi pemerintah, maupun pihak berwenang (entah siapapun itu), untuk menghentikan laju hoax, apalagi dengan cara yang represif? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Hoax, dengan segala dampaknya, dalam jangka panjang mungkin bisa memicu peningkatan minat baca masyarakat. Penyensoran yang secara agresif dilakukan bisa saja menghentikan proses alami tersebut. Adanya intervensi untuk menentukan apakah sesuatu itu hoax atau bukan juga membuat kebenaran informasi ditentukan oleh pengintervensi, tidak lebih dari itu. Sedangkan tentu patut dicurigai dengan berbagai agendanya, sangat mungkin bagi “Si-penentu-mana-yang-hoax-dan-mana-yang-benar” itu untuk kemudian membiaskan informasi, menciptakan hoax nya sendiri. Selain itu, pada akhirnya selain dirinya sendiri, sebenarnya tidak ada yang benar-benar tahu apakah seseorang itu dengan sengaja menyebar hoax atau tidak.
Namun, dengan hoax yang terjadi di Indonesia kini berpotensi mengancam posisi pemerintah dan menciptakan keresahan pada masyarakat Indonesia secara umum, akan menjadi sangat wajar bila pemerintah, bersama sebagian masyarakat ikut mendukung intervensi agar pihak (dalam bentuk perorangan, situs, maupun bot) yang dianggap menyebar hoax dihilangkan karena dampak dari hoax saat ini saja tidak main-main. Walaupun solusi represif yang dilakukan oleh pemerintah seperti penutupan website, penangkapan atas “pencemaran nama baik” mungkin ampuh untuk menekan informasi liar yang beredar, tentu solusi seperti ini hanya bisa dijadikan solusi jangka pendek.
Pada akhirnya, solusi utama untuk menghilangkan hoax adalah keharusan kita sebagai pembaca untuk terus check dan re-check, re-check, re-check,…… informasi yang terus mengalir tanpa henti. Disamping dari ketidakmungkinan kita untuk menemukan kebenaran yang sejati, kesadaran warga untuk terus mencari, dan memverifikasi informasi yang mereka terima diharapkan mampu menghilangkan permintaan akan berita hoax, yang pada gilirannya membuat organisasi semacam Saracen akan berkurang dan mati dengan sendirinya.
(Tulisan ini merupakan hasil Diskusi Kayu Putih yang berjudul “Kasus Saracen dan Masa Depan Opinion Making di Indonesia” yang diselenggarakan pada Rabu, 27 September 2017. Diolah menjadi tulisan ini oleh salah satu staf Kajian B.O. Economica dengan segala subjektivitasnya baik yang tidak disengaja maupun disengaja (mudah-mudahan bebas hoax, namun tentu tidak bebas bias)).
Daftar Pustaka :
https://nasional.tempo.co/read/903785/bos-saracen-mengaku-pendukung-prabowo-berikut-blak-blakan
http://news.liputan6.com/read/3068298/ini-struktur-sindikat-penebar-kebencian-saracen
http://www.bbc.com/news/magazine-38168281
Catatan Kaki :
[1] http://lifestyle.kompas.com/read/2014/01/11/1111364/Kenali.Bohong.Kecil.Sesuai.Fase.Usia.Anak.
[2] https://tirto.id/literasi-rendah-sebabkan-masyarakat-mudah-percaya-hoax-cnQa
[3] http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-39618703
[4] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170712093013-20-227276/beredar-email-jokowi-ke-sejumlah-bumn-istana-pastikan-hoax/
[5] https://news.detik.com/berita/d-3647966/ricuh-di-lbh-jakarta-kapolda-massa-termakan-isu-hoax
Discussion about this post