Penulis: Ruth Artia Heldifanny, Kania Diah Rachmawati
Editor: Bertha Fania Maula
Sebuah posting di media sosial beberapa waktu lalu memuat foto sebuah akun facebook siswi SD yang mencengangkan banyak pembaca. Pasalnya salah satu foto yang diunggah oleh siswi tersebut menunjukkan foto dirinya sedang berada di tempat tidur dalam posisi dirangkul lawan jenisnya dan (diyakini) hanya berlapiskan sehelai selimut. Sontak kelakuan mereka dinilai khayalak sebagai fenomena rusaknya moral anak zaman sekarang. Pertanyaannya adalah: apa yang mendasari mereka untuk melakukan hal seperti dalam foto tersebut?
Bagi sebagian besar orang Indonesia, seks masih dianggap tabu, dikaitkan dengan hal-hal berbau pornografi dan konten dewasa. Reaksi kontra pun muncul dari sebagian besar orang, termasuk orang tua, mengenai pendidikan seks. Hal tersebut karena pendidikan seks dianggap mengajarkan tentang cara berhubungan seks. Fenomena ini kerap terjadi lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih memiliki stereotip dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.
Orang tua sendiri enggan membicarakan seks di depan anak-anaknya. Hal inilah yang menurut Prof. Sarlito Wiryawan, guru besar Psikologi Universitas Indonesia, menjadikan sebagian besar penduduk Indonesia kurang mendapatkan pendidikan dan pemahaman yang benar mengalami seks. Kurangnya pendidikan berdampak pada tingginya tingkat penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti HIV/AIDS. Dampak negatif lainnya yaitu tingginya pergaulan bebas terutama di kota besar, merebaknya pelacuran, hingga banyak remaja yang hamil di luar nikah, bahkan menggugurkan kandungannya.
Stigma tentang Seks
Seringkali orang berpikir bahwa seks bukanlah budaya bangsa Indonesia yang menganut adat ketimuran, sehingga wajarlah jika dianggap menjadi sesuatu yang tabu. Sesungguhnya pernyataan ini kurang tepat karena kebudayaan Indonesia banyak yang memasukan tema seks, hanya saja dikemas dalam kerangka mitos dan cerita-cerita. Misalnya candi-candi di Indonesia yang memiliki bentuk lingga-yoni dan arca-arca dengan kisah-kisah bercinta misalnya yang ditemukan pada arca candi Sukuh, candi Mendut, atau peninggalan zaman Megalitikum seperti Menhir. Pada dasarnya, seks sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia bahkan sejak zaman purbakala.
Seks dianggap tabu karena kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang hal tersebut. Orang tua cenderung menghindar apabila anak-anaknya bertanya tentang masalah seks dan langsung menakut-nakuti dengan dosa, neraka, zina, atau pornografi karena mereka sendiri kurang berpengetahuan. Pendidikan seks tidak bisa disamakan dengan pendidikan moral atau agama yang mana seks dianggap tabu dan haram.
“Orang Indonesia nggak ngerti bahwa pendidikan bukanlah soal kepercayaan, tapi soal kebenaran yang bisa dibuktikan. Bagi saya itu salah, seks itu bukan soal moral. Akan tetapi, diri kita ini loh sebagai makhluk seksual kita harus tau fungsinya gimana, praktiknya gimana, pada usia berapa, dia tumbuh seperti apa, dia bekerja seperti apa. Kita harus tahu,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin.
Bukan Mengajarkan Pornografi
Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja.
Pendidikan seks menurut Mariana sesungguhnya adalah pemahaman tentang diri kita sendiri. Dorongan dan hasrat seksual adalah sangat wajar, mengingat seks adalah hal yang biologis. Pendidikan seks berbicara tentang diri kita, tentang fungsi organ-organ reproduksi dan bagaimana cara menjaga alat-alat kelamin kita tetap sehat. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain menjadi makhluk sosial, kita juga adalah makhluk seksual yang bisa bereproduksi dan menghasilkan keturunan.
Stigma yang masih melekat membuat pendidikan seks di Indonesia masih sulit untuk berkembang. Stigma tentang “seks adalah tabu” atau “seks adalah pornografi” menurut Sarlito membuat beberapa orang mengganti judulnya menjadi “Pendidikan Kesehatan Reproduksi”. Sarlito sendiri mengatakan bahwa dirinya sudah merintis pendidikan seks sejak tahun 1980-an dan sempat mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Meskipun kini sudah banyak pihak-pihak yang menerima dan melaksanakan pendidikan seks, namun tidak sedikit pula yang menentangnya.
Filosofi pendidikan seks adalah memberi informasi sedetail-detailnya kepada anak-anak dan masyarakat sehingga mereka tahu mana yang aman dan mana yang berbahaya serta apa bahayanya. Bahaya meliputi Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD), Penyakit Menular Seksual (PMS), penularan HIV/AIDS, dan sanksi sosial yang mungkin diterima misalnya mecela nama baik keluarga, dan sebagainya.
Sarlito menambahkan bahwa pendidikan seks tidak boleh didasarkan kepada kecurigaan bahwa anak-anak akan melakukan hubungan seks sebelum saatnya. Sifat menutupi dan mengalihkan kepada sanksi agama menyebabkan anak akan menghindari untuk membicarakan seks. Namun, anak akan tetap melakukannya karena hasrat seks pada anak mulai akil balik adalah alamiah dan akan terus berlangsung, dengan atau tanpa pendidikan seks.
“Masyarakat yang tidak mengerti seks tidak akan tahu bagaimana cara menghindari bahaya penyalahgunaan seks. Sama dengan masyarakat yang tidak pernah diajari tentang bencana alam, melainkan hanya diajari untuk berdoa dan minta ampun kepada Tuhan. Ketika bencana betul terjadi, mereka hanya berhamburan ke sana ke mari dan banyak yang tewas, sementara berdoa pun belum sempat saking paniknya. Begitu juga ABG yang tidak tahu tentang seks, tahu-tahu sudah KTD. Bingunglah dia dan lari ke aborsi ilegal,” jelas Sarlito.
Penting untuk diingat bahwa pendidikan seks bukanlah pornografi. Akan tetapi, justru karena kurangnya pengetahuan akan seks, maka orang-orang akan mencari tahu lewat porografi. Hal ini sesungguhnya wajar, tidak mungkin ada rasa penasaran yang dapat dibendung terutama rasa penasaran remaja. Mereka akan tahu mengenai seks dari luar keluarga dan sekolah seperti media massa, majalah, dan internet yang banyak menyuguhkan pornografi.
“Pornografi sesungguhnya penuh kebohongan. Kalau kamu ngerti tentang seks, kamu tidak akan mau lari ke porografi karena hal tersebut hanyalah fantasi-fantasi aneh ciptaan dari mereka yang tidak paham mengenai seks,” ujar Mariana.
Pendidikan seks juga tidak akan menjadi bumerang bagi penerimanya, seperti memanfaatkan pengetahuan tentang safe sex untuk berhubungan seks atau melakukan pergaulan bebas. Menurut Mariana, logika berpikir masyarakat semestinya dibalik, bahwa dengan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang seks, maka kita tahu risiko yang terjadi dan kecil kemungkinan kita akan melakukan hubungan seks di luar nikah atau lari kepada pornografi.
Waktu yang Tepat
Sarlito dan Mariana sepakat bahwa pendidikan seks sebaiknya diberikan sejak anak kecil, bahkan dari TK. Apabila kita masih berpikir bahwa seks adalah konten untuk dewasa, maka ada baiknya kita mencoba memperluas pikiran dan meluruskan logika.
“Lepaskan dulu stigma bahwa seks adalah film dewasa. Apabila kita masih berpikir bahwa pendidikan seks baru layak dikonsumsi oleh mereka yang berusia 17 tahun ke atas, maka stigma kita belum benar-benar hilang. Dari TK, tentu ada materi dan kadar-kadar pendidikan seks yang disesuaikan,” ujar Mariana.
Pendidikan seks paling baik dimulai sejak awal, dari rumah oleh orang tua sendiri. Misalnya dengan cara memberi jawaban yang jujur ketika anak balita bertanya tentang dari mana datangnya adik. Berikan jawaban yang jelas seperti, “Tuhan kasih adik bayi ke perut mama, keluarnya dari tempat pipis mama.”
Lebih lanjut, konten pendidikan seks bagi anak-anak harus disesuaikan. Sebagai contoh, orang tua dapat mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mengenal bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain dan apa alasannya, bukan sekadar haram dan zina.
Oleh karena pendidikan seks begitu penting, maka diperlukan peran serta dan dukungan dari pemerintah dan pihak-pihak atau lembaga terkait agar penyampaian pendidikan seks bisa tepat sasaran dan menghasilkan output yang baik dan benar. Langkah yang sudah diambil oleh Lembaga Jurnal Perempuan menurut Mariana adalah dengan melakukan integrasi kurikulum gender ke dalam mata kuliah. Hal ini sudah dilakukan kepada empat universitas.
Selain itu, LSM juga perlu secara aktif membuat working group atau seminar-seminar tentang pendidikan seks di sekolah. Penting untuk diperhatikan bahwa pemberian seminar sesungguhnya belum bisa mengakomodir kebutuhan anak-anak, remaja, dan masyarakat tentang pengetahuan seks. Pendidikan seks belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Padahal di luar negeri, pendidikan seks sudah diintegrasikan menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah.
Kontroversi Sensor
Pemberian sensor kepada belahan dada ataupun bagian tubuh wanita oleh KPI yang kadang di luar kewajaran sesungguhnya bukanlah langkah yang tepat. Hal tersebut bukanlah bagian dari bentuk pengedukasian seks oleh pemerintah. Pemberian sensor di bagian tubuh wanita seolah mengatakan bahwa belahan dada, paha, dan bagian tubuh lainnya adalah suatu hal yang najis dan tidak layak dilihat. Bagian tubuh wanita yang apabila dipertontonkan dianggap merupakan legitimasi bagi laki-laki untuk melakukan penguasaan atasnya, dicegah dengan pemberian sensor.
Menurut Mariana, hal tersebut kuranglah tepat. Bukannya mendidik, pemerintah justru membuat rasa ingin tahu yang semakin besar kepada masayarakat, khususnya anak-anak. Tanpa bimbingan yang jelas, mereka akan lari kepada pornografi. Pemberian edukasi seks adalah kunci dari segala isu sosial seperti pornografi, LGBT, PMS, serta pergaulan bebas. Pendidikan seks harus diberikan segamblang dan sejelas mungkin kepada anak-anak dan masyarakat secara ilmiah, bukan tentang hadirnya setan sebagai pihak ketiga yang akan hadir mengganggu.
*tulisan dimuat dalam salah satu rubrik Majalah Economica 55 yakni “Kesehatan”. Majalah Economica bisa didapatkan di Sekretariat Badan Otonom Economica, Student Center Lt. 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Kampus UI Depok. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Ahmad Fajrul (0812 9168 1859) atau Dimas (0815 7882 2523).
Discussion about this post