Tahu apa saya tentang susah? Lebih dalam lagi, peduli apa saya tentang susah? Menuju palung, pernahkah saya merasakan susah?
Banyak orang—meskipun saya tidak pernah tahu persentasenya dari seluruh populasi Bumi—yang mengatakan untuk mengetahui sesuatu maka seseorang harus merasakannya terlebih dahulu.
Ambil contoh, cinta bertepuk sebelah tangan. Orang tidak akan tahu roman picisan ini kalau tidak pernah jatuh cinta terlebih dahulu; orang tidak akan tahu rasanya menjadi yatim piatu jika hidupnya terus bersama orang tua; orang tidak akan tahu rasanya kematian jika jiwanya masih ada—bukan hidup yang tidak “hidup”.
Apakah itu benar? Jika demikian, tidak akan ada itu yang namanya turut merasakan sesuatu yang benar-benar turut merasakan seolah-olah terlibat di dalamnya. Segala bentuk simpati dan empati itu bisa jadi hanya hipokrisi agar terlihat manis di depan muka.
Lagi-lagi, apakah demikian? Lalu apa artinya tangisan seseorang atas kepergian seseorang lainnya—untuk selamanya? Lalu apa artinya semua rasa duka itu?
Bagi saya, seseorang tidak harus merasakan sesuatu untuk memahami atas suatu peristiwa. Itulah mengapa ada nasihat untuk belajar dari pengalaman, baik itu kesalahan maupun perilaku mulia orang lain. Apakah seseorang harus diperkosa dahulu baru bisa merasakan simpati maupun empati atas korban? Jelas tidak! Jika tidak demikian, tidak mungkin ada protes yang meminta penghentian atas tindak kekerasan terhadap wanita. Bukannya malah menjustifikasi bahwa pemerkosaan terjadi karena pihak perempuan yang “mengundang”.
Tanggal 21 April merupakan Hari Kartini, di mana hari itu dirayakan untuk mengenang kepahlawanan R.A. Kartini terhadap kesetaraan gender. Salah satu pelopor tokoh feminisme di Indonesia ini berontak atas feodalisme yang menyunat hak-hak wanita. Terlepas dari perdebatan yang timbul seputar dirinya, beliau tetap pantas menyandang gelar kepahlawanan. Kesetaraan gender merupakan hal yang masih timpang pada masa itu. Sekarang, wanita Indonesia sudah bisa mengenyam pendidikan dan menduduki posisi-posisi penting di Indonesia. Bahkan, Indonesia sudah memiliki satu Presiden wanita.
Pertanyaannya, apakah benar diskriminasi gender sudah benar-benar lenyap di negeri ini setelah era Kartini?
Hari Kartini sering dirayakan dengan anjuran wanita memakai kebaya atau pakaian tradisional. Hal ini pun yang dianjurkan oleh salah satu wanita di organisasi yang baru saya masuki ketika dalam memeringati Hari Kartini, wanita dianjurkan memakai rok. Sekadar kritik, bagi saya, perayaan Hari Kartini dalam manifestasi kemerdekaan wanita tidak diukur dari bagaimana cara wanita berpakaian. Justru kemerdekaan wanita—dalam pandangan saya sebagai laki-laki naif—adalah salah satunya kemerdekaan wanita dalam berpakaian. Sempat terlontar sebuah protes, “Don’t tell us how to dress, tell them not to rape” (silah Google kalimat tersebut).
Bagi saya, tidak perlu menjadi wanita untuk mengetahui bahwa diskriminasi belum benar-benar hilang. Lihat pemerkosaan, lihat poligami, lihat pekerja rumah tangga (PRT) yang diperlakukan semena-mena. Perkawinan dini terhadap wanita juga masih prevalen di negeri ini. Kemudian, tidak usah jauh-jauh, jika benar kedudukan wanita dan pria Indonesia sudah setara, mengapa pula masih ada gerbong khusus wanita di kereta? Bukankah, jika memang benar wanita dan pria setara, wanita seharusnya dijamin keselamatannya tanpa harus dipisah-pisahkan?
Tidak perlu saya menjadi wanita untuk mengetahui bahwa merupakan hal yang lazim diungkapkan bahwa “wanita itu lemah”, bahkan dari mulut wanita sendiri. Separah ini kah budaya patriarkal kita? Jika benar wanita itu lemah, mengapa pula yang mengandung anak selama sembilan bulan itu wanita bukannya pria? Pria cuma sumbang sperma, bahkan secara biadab dan secara paksa memasukkan miliknya ke wanita yang bukan haknya hingga harus mengandung akibat yang tidak dinginkan pihak wanita.
Tidak perlu menjadi wanita untuk mengetahui bahwa kata “merajai” digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sedang berada di pihak unggul. Raja kan merujuk kepada maskulinitas, tetapi tidak ditemui kata “meratui”, maupun derivasinya.
Tidak perlu menjadi wanita untuk mengetahui bahwa ungkapan “yah, kalah lu sama cewek!”, seakan-akan wanita tidak diizinkan menjadi pemenang. Lebih menyedihkan lagi jika ungkapan ini keluar dari mulut wanita dan begitu posisi wanita ini mengalami diskriminasi malah teriak-teriak meminta kesetaraan. Standar ganda.
Saya sebenarnya masih heran konsep keberadaan gerbong kereta khusus wanita. Ini seperti mengakui bahwa wanita masih sering diselewengkan. Dan itu fakta, tetapi terus dipelihara.
Pemisahan gerbong kereta wanita ini seakan mengingatkan saya tentang pemisahan ibadah antara laki-laki dan perempuan. Agama yang diajarkan kepada saya tidak memperbolehkan wanita mengimami pria. Saya terus mempertanyakan mengapa demikian. Sebut saya kafir—yang artinya ingkar, tetapi coba pikir kembali. Tidakkah ini ironis bahwa pemuka agama, sebuah imam pria ini ditemukan memerkosa murid perempuannya? Padahal, tidak ada ajaran demikian, justru sebaliknya: yang diagung-agungkan adalah kepercayaan yang diajarkan kepada saya itu menaikkan derajat wanita.
Masih mengenai isu agama, saya heran mengapa nabi-nabi yang saya kenal atau diperkenalkan kepada saya semuanya laki-laki? Tidak adakah nabi perempuan? Hal ini seakan menggambarkan bahwa sang pencerah harus selalu laki-laki. Mungkin ada yang berargumen bahwa istri sang nabi pun bisa dijadikan panutan terhadap wanita. Namun, rasa penasaran saya terletak pada tidak adanya nabi besar wanita.
Saya memang memandang isu ini dari satu sisi agama karena jujur saya tidak paham sisi agama yang lain. Saya sebenarnya berharap bukan suatu hal yang terkutuk bahwa wanita mengimami pria. Saya berharap wanita dapat berdampingan dalam satu barisan ketika menjalankan ibadah lima waktunya bersama pria. Saya berharap bahwa ibadah Jumat di siang hari tidak hanya didominasi oleh pria, tetapi juga wanita. Bahkan, jika perlu, penceramah atau khotibnya juga wanita. Hal ini bagi saya perlu untuk menyuarakan suara wanita yang tidak terdengar atas diskriminasi yang dihadapinya. Juga agar isi ceramah tidak melulu itu-itu saja. Memang tidak perlu menjadi wanita untuk menyuarakan diskriminasi gender dalam suatu ceramah, tetapi saya seumur hidup belum pernah mendengar ceramah tentang kesetaraan gender.
Mengenai imam atau pemimpin, saya setuju mengenai aturan minimal 30% kuota perempuan dalam partai politik. Ada yang berargumen bahwa yang penting adalah kualitas seseorang dalam partai dan hal itu sulit dipenuhi untuk mencapai kuota 30%. Pertanyaan mendasar saya adalah: memangnya para pria dalam partai itu sudah berkualitas? Esensinya, bagi saya, bukan mencari 30% yang berkualitas dari masing-masing partai, melainkan memberikan kesempatan yang lebih luas terhadap wanita. Hal ini dimaksudkan agar suara-suara wanita ini lebih didengar. Jika bicara kualitas, gender tidak berbicara. Namun, pria saja banyak yang tidak berkualitas. Jadi, bukan alasan bahwa tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan dalam partai adalah karena sulitnya mencari yang memenuhi kualifikasi.
Saya bukan self-proclaimed feminist. Saya belum melahap literatur-literatur mengenai feminisme. Saya tidak memiliki kakak maupun adik perempuan–kecuali sepupu. Ibu saya tidak pernah mengajarkan soal feminisme dan menyuarakan keprihatinannya mengenai masih maraknya pemerkosaan kepada saya. Entah beliau memikirkannya atau tidak. Saya tentu naif, bukan seorang wanita tetapi berharap hal-hal utopis tentang wanita. Namun, kemunafikan dunia, standar ganda antara wanita dan pria ini kerap membuat saya masygul. Memang tidak perlu menjadi wanita untuk memahami bahwa masih marak diskriminasi terhadap wanita.
Saya kadang terpikir mengapa ada transgender. Mungkin mereka ingin memanifestasikan dirinya yang bukan terlahir sebagai wanita ingin menjadi bagian dari wanita. Bahkan, dalam bahasa Inggris, transgender ingin diidentifikasikan dalam pronomina “she”. Namun sayang, persepsi masyarakat terhadapnya justru merendahkannya, bahkan dianggap menghina kodrat. Saya memang naif berpendapat soal ini padahal saya tidak pernah bergaul dengan transgender, tetapi kadang saya terpikir justru inilah bentuk keberanian mereka yang (mungkin) untuk melawan machoisme.
Dalam benak saya, dunia imajinasi saya, perayaan Hari Kartini akan menjadi munafik jika kita mengagungkan kesetaraan gender tetapi kita masih mendikte bagaimana wanita harus berperilaku. Seperti kata seorang anarkis feminis Emma Goldman, “Women need not always keep their mouths shut and their wombs open”. Dunia imajinasi saya terhadap perempuan, maupun laki-laki, adalah penghapusan kodrat atas suatu gender. Sekali lagi, katakan saya ini kafir–yang berarti ingkar, ditambah tidak pernah merasakan rasanya menjadi perempuan, tetapi bagi saya selama perempuan menjadi kepala keluarga masih merupakan hal yang tabu, perempuan harus didikte bagaimana cara berpakaian, perempuan yang merokok dianggap wanita jalang, perempuan yang berbicara kotor/tabu dianggap tidak merepresentasikan sifat kewanitaan, perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemuka agama atau imam atas laki-laki, perempuan tidak bisa berdampingan dalam ibadah lima waktu secara berjemaah karena takut menimbulkan syahwat dan terjadi pemerkosaan di tempat untuk bersujud, dunia nyata masih tempat yang menjijikkan bagi saya. Modernisme tentang kesetaraan gender dengan terms and conditions, bersyarat, bagi saya hanya ingin menegaskan—seperti judul album band Blur–Modern Life is Rubbish.
P.S.: saya benci machoisme dan maskulinitas.
*Tulisan pada spanduk protes para pendemo pada September 2011 terkait kasus pemerkosaan yang marak di Jakarta
Penulis: Lukman Edwindra
Discussion about this post